Kamis, 03 Juni 2021

Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024

  

Pemilu 2019 mencatatkan sejarah penting dalam peradaban kepemiluan Republik Indonesia, Pemilihan Umum serentak yang memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang dilaksanakan dalam satu hari menjadi prestasi yang membanggakan, walau ada beberapa hal yang menjadi  catatan dan evaluasi seperti kejadian Petugas  penyelenggara Pemilu yang wafat saat pelaksanaan tahapan Pemilu 2019, tetapi secara umum Penyelenggaraan Pemilu 2019 bisa dikategorikan berhasil karena produk yang dihasilkan telah menjadi Rezim yang sah.

Pada laman KPU RI,  www.kpu.go.id tangggal 29 Mei 2021, salah satu judul berita menyebut “KPU wacanakan penyederhanaan surat suara Pemilu 2024”, hal ini merupakan inovasi dan lompatan besar dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum.  Dengan slogan Pemilih Berdaulat Negara Kuat, maka defenisi Pemilih Berdaulat harus dipertegas sebagai Pemilih Cerdas sehingga Perubahan Media Pemungut Suara Pemilih, baik Perubahan bentuk (dari manual menjadi elektronik) atau perubahan struktur (Perubahan Jumlah atau susunan Surat Suara) akan sejalan dari bagian dari mencerdaskan Pemilih   namun tetap menyesuaikan dengan kesiapan Pemilih secara umum. Frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa” Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 juga dapat menjadi landasan pada setiap perubahan atau inovasi pada penyelenggaraan Pemilu, mewujudkan Pemilih Cerdas juga merupakan bagian dari Pengamalan UUD 1945.

https://www.kpu.go.id/berita/baca/9652/kpu-wacanakan-penyederhanaan-surat-suara-pemilu-2024

Penyederhanaan Surat Suara dapat dilakukan dengan menyatukan seluruh surat suara menjadi 1 (satu) lembar atau 2 (dua) surat suara, sebagai contoh Presiden/Wakil Presiden, DPR RI dan DPD  satu surat suara, kemudian DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di surat suara lainnya

Berikut hal-hal yang menjadi keunggulan dan kelemahan dari Penyederhanaan Surat Suara pada Pemilihan Umum 2024.`

A. Keunggulan 

1.       1. Efisiensi Anggaran

Pada Pemilihan Umum 2019 dengan 5 surat suara dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebesar 192.866.254 (Rekapitulasi DPThp 3), total surat suara yang dicetak ditambah dengan Surat Suara cadangan mendekati 1 Milyar Lembar, dengan estimasi biaya cetak Rp 3.000 per lembar, dibutuhkan biaya sebesar 3 Triliun rupiah untuk mencetak saja, ditambah dengan Biaya sortir, lipat, pengamanan, Gudang serta penyediaan Kotak Suara.

Jika Surat suara disederhanakan menjadi satu atau dua surat suara maka diperoleh angka/perbandingan sebagai berikut:

No

Uraian

5 Surat Suara

2 Surat Suara

1 Surat Suara

1

Jumlah Surat Suara x DPT  x biaya cetak

5 x 200.000.000 x 3.000 = 3 Triliun

2 x 200.000.000 x 4.000 = 1,6 Triliun

1 x 200.000.000 x 5.000 = 1 Triliun

2

Biaya Sortir dan Pelipatan

(biaya Sortir dan Lipat Rp.300)

5 x 200.000.000 x 300 = 300 Miliar

2 x 200.000.000 x 300 = 120 Miliar

1 x 200.000.000 x 400 = 80 Miliar

3

Biaya Penyediaan Kotak Suara

Harga Kotak Suara Rp 100.000, 800.000 TPS

5 x 100.000 x 800.000 = 400 Miliar

2 x 100.000 x 800.000 = 160 Miliar

1 x 100.000 x 800.000 = 80 Miliar

4

Biaya Distribusi

(KPU Kab/Kota-PPK-PPS-TPS) Pulang Pergi Rp 100.000 , 800.000 TPS

5 x 100.000 x 800.000 = 400 Miliar

2 x 100.000 x 800.000 = 160 Miliar

1 x 100.000 x 800.000 = 80 Miliar

5

Biaya Gudang, Pengamanan dan bongkar muat

(estimasi Rp 50.000 per Kotak Suara)

5 x 50.000 x 800.000 =200 Miliar

2 x 50.000 x 800.000 =80 Miliar

1 x 50.000 x 800.000 =40 Miliar

 

Total

4,3 Triliun

2,12 Triliun

1,28 Triliun

 

2.  Efisiensi Waktu 

Membuka dan membaca Surat suara untuk pemungutan serta pada saat penghitungan dapat digambarkan pada tabel berikut

No

Uraian

5 Surat Suara

2 Surat Suara

1 Surat Suara

1

Pemungutan Suara untuk tiap pemilih

5 x 3 menit= 15 menit

2 x 3 menit= 6 menit

1 x 3 menit = 3 menit

2

Penghitungan Suara untuk tiap surat suara

5 x 10 menit= 50 menit

2 x 15 menit = 30 menit

1 x 20 menit= 20 Miliar

  

3.   Efisiensi Tenaga

Kejadian yang menimbulkan korban jiwa pada Tahapan  Pemilu 2019 yang kebanyakan terjadi saat tahapan Rekapitulasi tingkat PPK sebenarnya adalah akumulasi dari beban kerja yang tinggi sejak persiapan Logistik. Pada saat persiapan Logistik menguras pikiran dan juga tenaga, sementara tahapan rekapitulasi lebih cenderung menguras pikiran dan daya tahan tubuh akibat kurangnya istirahat, dengan penyederhanaan Surat suara serta inovasi pada saat tahapan Rekapitulasi, kemungkinan korban jiwa akibat Penyelenggaraan Pemilu  tidak ditemukan lagi pada Pemilu 2024.

4. Peralihan menuju Pemilu Elektronik

Substansi Pemungutan Surat Suara sebagai media untuk mentransfer Kedaulatan Rakyat menjadi kursi/Jabatan akan semakin jelas, Pemilih akan menyadari Surat Suara hanyalah media yang akan berubah seiring perubahan zaman.

 


B. Kelemahan 

·   Kemungkinan akan ditemukan Pemilih dalam persentase sangat kecil yang kesulitan bahkan tidak mampu mempergunakan Surat Suara yang disederhanakan, tetapi ini adalah bagian dari suatu perubahan.

·        Resistensi dari beberapa pihak yang akan mengganggu konsentrasi pelaksanaan tahapan.

 

Dari segi penyelenggaraan Pemilihan Umum, dengan jumlah Pemilih lebih dari 190 juta (setara dengan 18 Negara di eropa)  dengan latar belakang Pemilih yang sangat beragam, Menyelenggarakan Pemilihan Umum di Indonesia tergolong rumit dan mahal, tetapi Penyelenggaraan Pemilihan Umum pada periode sebelumnya telah menunjukkan Indonesia sebagai Negara yang sudah siap untuk berdemokrasi. Dibutuhkan Inovasi dari Pembuat Regulasi serta Penyelenggara Regulasi untuk menaikkan kualitas dari Penyelenggaraan Pemilihan Umum itu sendiri.

Doloksanggul, Kab Humbang Hasundutan, 3 Juni 2021

 


Sabtu, 20 Maret 2021

Ujicoba Retribusi Pasar Secara Elektronik

 


SIAPPARA (Sistem Informasi Pemungutan Penyetoran dan Pelaporan Retribusi Pasar)

Dinas Koperasi Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Humbang Hasundutan sebagai Pengelola Pasar Rakyat telah menggunakan pemungutan Retribusi Pasar secara elektronik di seluruh Pasar Rakyat di kabupaten Humbang Hasundutan.

 


Aplikasi ini disebut dengan SIAPPARA (Sistem Informasi Pemungutan Penyetoran dan Pelaporan Retribusi Pasar), Petugas Pasar dilengkapi dengan  Smartphone dan Printer Portable, Software  SIPPARA yang terinstal dalam smartphone berisi besaran tagihan retribusi, fitur untuk mengirimkan data server serta fitur unutk melakukan upload bukti Setoran.
Jumlah Pemungutan Retribusi akan dilaporkan oleh Aplikasi setiap harinya dari seluruh Pasar di kabupaten Humbang Hasundutan. Penggunaan Karcis manual (yang disobek) tidak diberlakukan lagi di Pasar Rakyat Kabupaten Humbang Hasundutan.

langkah selanjutnya, Seluruh  Kios dan Los serta Fasilitas lainnya akan di data dan dimasukkan ke dalam software dalam bentuk database sehingga Aplikasi juga akan mampu melaporkan Pembayaran yang kurang, berlebih atau pun yang tertunggak. Target PAD akan lebih realistis di saat Aplikasi mengerjakan dan mengontrol hal yang terkait dengan Potensi Pendapatan Daerah dari Pasar.

Setelah fasilitas Pasar ter database, diikuti dengan pendataan Pedagang pengguna Fasilitas Pasar, unutk Pedagang yang menempati Kios dan Los, akan diberlakukan sistem pembayaran Non Tunai (Cashless), sedangkan pedagang tidak menetap (musiman) akan tetap tunai tetapi sistem pemungutannya sudah elektronik mempergunakan Print Receipt dari Printer Portable yang dihasilkan oleh Smartphone.


Disamping fungsinya untuk Pemungutan Retribusi Pasar, Aplikasi ini juga ditambah dengan fitur pengiriman harga Komoditi Pasar, Petugas Pasar akan melakukan entry harga Bahan Pokok dan Kebutuhan Penting (Bapokting) setiap harinya mempergunakan Aplikasi SIAPPARA.


Sabtu, 17 Maret 2018

Pemilu 2019, Badan Penyelenggara Ad Hoc yang Menohok


Pemilu 2019, Badan Penyelenggara Ad Hoc yang Menohok

Minggu, 18 Pebruari 2019, KPU RI menetapkan Nomor Urut dari 14 Partai Politik Peserta Pemilu 2019 serta 4 partai Politik tingkat lokal di Nanggroe Aceh Darussalam, kemudian 4 Maret 2018, KPU RI kembali menetapkan 1 Partai Politik  sebagai peserta Pemilu 2019 sesuai keputusan Bawaslu RI.
Penyelenggaraan Pemilu 2019 berbeda dengan Pemilu sebelumnya karena Pemilihan DPR, DPD, DPRD serta Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan serentak pada hari yang sama yaitu Rabu 17 April 2019, tingkat kerumitannya meningkat karena surat suara yang bertambah, disamping kenaikan jumlah Parpol peserta Pemilu, diperkirakan akan ada 1 milyar surat suara yang dipersiapkan untuk Pemilu 2019, berkaca pada penyelenggaraan Pemilu di 2014, pada beberapa daerah, proses perhitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada pemilu legislatif bisa melewati hari H penyelenggaraan, apalagi dengan bertambahnya surat suara Presiden/Wakil Presiden yang kemungkinan akan mendapat prioritas lebih dahulu untuk dihitung akan menyita waktu yang tidak sedikit, di daerah tertentu Pemilu bahkan harus diulang karena ada dugaan pelanggaran. Tahapan Penyelenggaraan Pemilu mulai dari sosialisasi, pengadaan logistik, pendistribusian sampai kepada mengembalikan logistik sebagai Dokumen/Arsip/ Bukti fisik   akan menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi Penyelenggara Pemilu dan Pemangku Kepentingan.
 UUD 1945 menyebut bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga yang tetap dan mandiri sebagai penyelenggara Pemilu, di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa KPU dibentuk sampai ke tingkat Kabupaten/Kota,  pada tingkatan kecamatan, Desa, Dusun dan TPS, petugas yang mengerjakan tugas-tugas kepemiluan adalah Badan Penyelenggara Ad Hoc yang sifatnya tidak menetap.


Badan Penyelenggara Ad Hoc
Republik Indonesia, negara yang kita banggakan, jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia (Tiongkok yang berpenduduk terbesar bukanlah negara demokrasi, dan Presidennya bisa seumur hidup) dimana Pemerintahan tertinggi ada di tangan rakyat, rakyat berhak menentukan pilihan politiknya, pilihan hidupnya dan Hak Azasinya dan semuanya itu diatur di dalam dasar negara Pancasila dan  Undang Undang Dasar 1945.
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah instrumen perwujudan supremasi kekuasaan rakyat. Perwakilan rakyat dan pemerintahan dari tingkat pusat (Presiden/Wakil Presiden) sampai tingkat terendah (Desa) dipilih melalui sarana Pemilihan Umum yaitu :
1. Pemilu untuk Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD dan  DPRD;
2. Pilkada untuk Gubernur, Bupati, Walikota dan wakil-wakilnya;
3. Pilkades untuk Kepala Desa atau sebutan lainnya.
Tingkat keberhasilan suatu penyelenggaraan Pemilihan adalah besarnya partisipasi dari pemilih Hak Pilih, walaupun tidak memilih (Golput) adalah hak demokrasi, tetapi tingkat Partisipasi Pemilih adalah salah satu indikator keberhasilan Penyelenggaraan Pemilu.
Di dalam penyelenggaraannya,dibutuhkan petugas untuk mengerjakan tugas-tugas terkait Pemilihan dimaksud mulai dari tingkat Pusat sampai dengan Daerah,  hal - hal  yang berkaitan langsung dengan Pemilih seperti Pendataan Daftar Pemilih, penyampaian undangan memilih sampai pada saat pengggunaan hak pilih di Tempat Pemungutan Suara, dilakukan oleh Badan Penyelenggara ad hoc yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) ditambah dengan Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih) dan Relawan,  merekalah yang bersentuhan langsung dengan sasaran Pemilu yaitu rakyat sebagai pemilik Hak Suara, hanya dalam beberapa  elemen saja, KPU sebagai penyelenggara yang bersifat tetap  bersentuhan langsung dengan masyarakat sebagai Pemilik Hak Pilih seperti sosialisasi, Forum Diskusi dan interaksi sosial formal dan informal di media mainstream dan media sosial.
Melihat pada porsi pekerjaannya, Badan Penyelenggara Ad Hoc lah yang menjadi ujung tombak penyelenggaraan Pemilu, tentu dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni untuk mengerjakan tugas-tugas kepemiluan, tidak hanya sekedar cakap, tetapi juga harus rajin, bersedia bekerja penuh waktu, berdedikasi dan memiliki integritas. Rekrutmen  PPK, PPS dan KPPS yang benar akan menghasilkan penyelenggara Ad Hoc Pemilu yang berkualitas, terhitung pada tanggal 7 Maret 2018, KPU Kabupaten/Kota selesai merekrut PPK dan PPS, selanjutnya akan merekrut Pantarlih dan KPPS. Dibutuhkan ketelitian dan pola rekrutmen yang mendasarkan kebutuhan untuk mendapatkan SDM yang tepat pada penyelenggaraan Pemilu kali ini, disamping persyaratan dasar yang telah ditetapkan oleh UU, perlu dilihat tingkat animo dan motivasi dari calon-calon anggota Pantarlih dan KPPS, ada diantaranya yang sedang menganggur dan membutuhkan pekerjaan sehingga menganggap sebagai profesi saja, ada yang sudah memiliki pekerjaan dan menganggap hal ini sebagai pengabdian atau aktualisasi diri, ada menjadi KPPS karena keterbatasan SDM di daerahnya. Tantangan lainnya adalah kondisi sosial, rentan gratifikasi, ketidaknetralan serta  tanggung jawab, terkadang Bimtek yang dilakukan KPU tidak cukup untuk membekali para penyelenggara Ad Hoc sehingga rekrutmen yang benar di awal akan menghasilkan para Penyelenggara Ad Hoc yang tepat dan berdedikasi untuk keberhasilan Pemilu 2019,  terkadang faktor non teknis seperti penampilan dan kesan “good looking” akan menjadi nilai tambah bagi para penyelenggara, menempatkan orang yang mudah senyum pada bagian pendataan pemilih dan front line di TPS akan meningkatkan partisipasi Pemilih yang menjadi salah satu parameter dalam menentukan keberhasilan Pemilu.




Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, pada penyelenggaraan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 9 Juli 2014, tercatat ada 6.980 Panitia tingkat Kecamatan di dalam negeri  dan 130 di luar negeri,  81.132 Desa/Kelurahan , 478.685 TPS di dalam negeri  dan 498 TPS di Luar Negeri.  Lebih dari 5 juta petugas dilibatkan dalam Penyelenggaran Pemilu.
Pada Pemilu 2019, jumlah pemilih di tiap TPS akan dikurangi dari sebelumnya maksimal 500 menjadi 300 pemilih, akan ada pertambahan TPS lebih dari 50 persen dan tentu saja akan mengakibatkan pertambahan personil penyelengara Ad Hoc.
 Tugas –tugas dari para Badan Penyelenggara Ad Hoc ini begitu krusial dan menohok sehingga diperlukan SDM yang  berintegritas, berdedikasi, Cakap dan qualified untuk mengerjakan tugas penyelenggaraan Pemilu ini, dan akan lebih baik jika memiliki nilai tambah dalam hal penampilan, ketokohan dan “good looking”.


Selasa, 13 Februari 2018

Pilkada Serentak 2018, Paling Akbar, Paling mahal (Bagian 2)

PILKADA SERENTAK 2018
PALING AKBAR, PALING MAHAL, “PERANG” AWAL  PEMILU 2019
(Bagian Kedua/Menakar  persaingan parpol di Provinsi “Raksasa”)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tiap Daerah yang menyelenggarakan Pilkada telah menetapkan Pasangan Calon yang berhak untuk ikut serta dalam tahapan Pilkada pada 12 Pebruari 2018, gambaran dari kekuatan politik setiap calon serta peta persaingan antar Partai Politik mulai kelihatan.  Koalisi antara Partai Politik pendukung Pemerintah dan “oposisi”  membuat Pilkada semakin menarik, di Sumatera Utara Partai Nasdem, Hanuran dan Golkar bergabung dengan PKS, PAN dan Gerindra melawan Pasangan Calon yang diusung PDI Perjuangan dan PPP, di Kalimantan Barat PDI Perjuangan berkoalisi dengan Demokrat sementara di Pilkada Jawa Barat menghasilkan 4 Pasangan Calon dengan koalisi yang berbeda, hal ini sebenarnya memberi hal positif dalam proses perpolitikan, sebab “persaingan” di DPP tidak selamanya diteruskan ke tingkat Daerah, Indonesia sebagai negara yang majemuk, populasi besar dan beraneka ragam Suku, agama dan kebudayaan mampu menerjemahkan Demokrasi di tengah pluralisme dan peradaban yang ketimuran.

Kekuatiran berlebihan
Pilkada 2018 yang berdekatan dengan Pemilu 2019 memunculkan kekuatiran dan kecemasan pada penyelenggaraannya, potensi konflik karena perbedaan pilihan, politik identitas yang sempit, isu agama dan sentimen kesukuan menjadi indikator untuk menentukan potensi kerawanan tiap-tiap daerah. Tetapi ada kabar baik, bangsa Indonesia sebenarnya adalah bangsa yang telah terbiasa dengan perbedaan dan demokrasi, Politik Identitas itu sendiri adalah bagian dari perkembangan Demokrasi apalagi di tengah-tengah negara yang beragama, pilihan politik seseorang yang dilandaskan pada keyakinannya adalah sesuatu hal yang lumrah dan harus diterima, tugas Negara adalah memberi pilihan dan kesempatan memilih kepada warganya. Proses Pilkada juga dapat dijadikan sebagai barometer tipikal pemilih, apakah Pemilih Rasional, Pemilih Emosional (Politik Identitas) atau Pemilih Material (memilih karena uang/pemberian materi).


Pilkada di Provinsi “Raksasa” 
Ada 17 Provinsi yang menyelenggarakan Pilkada pada Pilkada Serentak 2018, dan Provinsi-provinsi raksasa (jumlah penduduk terbanyak ) ikut di dalamnya antara lain; Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan dan lainnya, hampir 80 persen Penduduk Indonesia ada di 17 Provinsi ini dari 34 Provinsi yang ada, dari 575 Kursi DPR RI yang tersedia, sebanyak 435 Kursi berasal dari 17 Provinsi ini, tentu Partai Politik akan berusaha sebisa mungkin meraih suara di Provinsi-provinsi ini, Pilkada 2018 yang  menjadi ajang menaikkan popularitas Partai Politik melalui Pasangan Calon yang diusung, kemenangan Pasangan Calon yang diusung apalagi berasal dari Kader sendiri akan menjadi modal berharga bagi Partai Politik untuk menghadadapi Pemilu 2019, Pelaksanaan Pilkada 2018 pada tanggal 27 Juni 2018 berdekatan dengan Penetapan Calon Legislatif dan Calon Presiden serta masa kampanye Pemilu 2019 sehingga  hasil Pilkada akan kuat mempengaruhi hasil Pemilu 2019. Ada 5 Provinsi  urutan teratas Jumlah Penduduk Indonesia dan ikut dalam Pilkada serantak 2018, Provinsi ini juga penyumbang terbesar Kursi DPR RI yaitu Jawa Barat (91 kursi), Jawa Timur (87 kursi) Jawa Tengah (77 Kursi), Sumatera Utara (30 kursi) dan Sulawesi Selatan (24 kursi), artinya 309 kursi (lebih dari 50 persen suara) ada di 5 Provinsi ini, Partai Politik akan mempersiapkan diri lebih fokus di Provinsi ini, dan tentu ekonomi juga akan ikut terpengaruh akibat biaya politik yang ditumpahkan di 5 Provinsi ini.
Pada kesempatan yang sama di tahun Politik ini, Partai Politik yang berkoalisi akan berusaha memenangkan Pasangan Calonnya di penyelenggaraan Pilkada, tetapi di satu sisi Partai Politik tersebut akan bersaing lagi merebut hati pemilih untuk perolehan suara di Pemilu 2019, kemudia beberapa Partai yang berkoalisi akan bergabung lagi/ berkampanye bersama-sama untuk calon Presiden/Wakil Presiden yang diusung, Pemilih akan disajikan peristiwa menarik di saat ada Partai Politik yang bersama-sama berkampanye untuk Pasangan Calon Gubernur, kemudia bersaing untuk mengkampanyekan Caleg masing-masing dan kemudian berteman lagi untuk mengkampanyekan Calon Presiden/Wakil Presiden mereka, dan ada juga Partai Politik yang sudah berseberangan dari Pilkada sampai ke Pilpres, inilah sisi yang sangat menarik dari wajah Demokrasi Indonesia saat ini, yang jauh lebih layak untuk dicermati dibanding dengan kekuatiran yang ditimbulkan oleh Politik Identitas ataupun sentimen SARA.
Daripada mencemaskan dan menambahi kekuatiran akan potensi konflik akibat Pilkada serta dampak buruk ekonominya, lebih baik ikut serta mengkampanyekan Pilkada dan Pemilu Damai, triliunan rupiah APBD dan APBN dikeluarkan oleh negara untuk pembiayaan Pilkada dan Pemilu, diharapkan hasil proses Demokrasi ini akan menaikkan  Derajat Bangsa, menghasilkan Pemimpin  amanah yang orientasi kerjanya semata-mata untuk kemakmuran dan kesejahteraan warga negara, Penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu dan Pemilik hak suara akan bersama-sama melaksanakan fungsinya, Demokrasi untuk kemajuan bangsa.

 Lanjutan dari Bagian satu; 
http://pabercolombus.blogspot.co.id/2017/03/pilkada-serentak-2018-paling-akbar.html