Penyandang Disabilitas pada saat
Pemilihan Umum
Keterbatasan
Fisik yang dimiliki para Penyandang Disabilitas acapkali membuat kaum ini
terlupakan, sering diingat pada saat saat tertentu saja, Lembaga-lembaga baik
lembaga Pemerintah maupun non Pemerintah menyelenggarakan beberapa event dan
kegiatan yang bertujuan untuk mengangkat kehidupan para Penyandang Disabilitas.
Pada
saat hajatan Demokrasi, mulai dari Pemilihan Kepala Desa, Kepala Daerah, Kepala
Negara dan Legislatif, dimana keterpilihan ditentukan oleh jumlah perolehan
suara, semua lapisan masyarakat didekati, termasuk para Penyandang Disabilitas.
Sistem
One Man One Vote (satu orang satu
suara) yang berlaku dalam Demokrasi Indonesia (Kecuali beberapa wilayah di
Papua) mengartikan suara seorang Konglomerat sama dengan suara seorang buruh,
suara satu orang Gubernur sama dengan suara satu orang Pegawai lepas, begitu
juga suara satu orang penyandang disabilitas sama dengan suara satu orang
normal.
Tingkat
Partisipasi Pemilih sangat ditentukan oleh Jenis Pemilihan yang dilaksanakan,
Partisipasi Pemilih pada Pemilihan Bupati/Wakil Bupati jauh lebih tinggi dibanding
dengan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden maupun dengan Pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur. Persentase penyandang Disabilitas yang menggunakan hak pilihnya pada
Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Pemilihan DPRD Kabupaten jauh
lebih tinggi dari pada Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur. Hal ini dikarenakan
orang yang akan dipilih mempunyai kepentingan besar dan dekat dengan Pemilihnya
sehingga para konstituen yang dianggap pendukung akan diusahakan untuk
menggunakan hak pilihnya. Para Penyandang Disabilitas ini dijemput dan diantar
pulang saat menggunakan hak pilihnya, dan ini dilakukan oleh para Tim Sukses
calon ataupun oleh Keluarga si Penyandang Disabilitas. Bukan oleh penyelenggara
Pemilu atupun oleh Penyelenggara Negara. Tetapi saat penyelenggaraan Pemilihan
yang lebih tinggi seperti contoh Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, pelayanan
antar jemput ini tidak lagi didapatkan oleh Penyandang Disabilitas, bisa saja
disebabkan ketiadaan tim kampanye yang mengantar-jemput atau keluarga sendiri
pun tidak menggunakan hak pilihnya (tidak mendatangi TPS).
Fakta
–fakta ini menyimpulkan bahwa Penyandang Disabilitas hanya sebagai Objek dalam
perhelatan Pemilihan Umum, mendapatkan layanan saat ada kepentingan untuk
mendapatkan ‘suara’ nya saja ataupun karena ada pemberian.
Peran Penyelenggara Negara
Para
Penyandang Disabilitas mestinya dapat menggunakan hak pilihnya setiap ada
kegiatan Pemilihan, dan harus difasilitasi oleh Negara, bukan hanya berupa
layanan untuk mempergunakan hak pilihnya tetapi juga hak untuk mendapatkan sosialisasi
dan Pendidikan Politik. Penyelenggara Negara untuk Pemilihan Umum dalam hal ini
Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Daerah dapat bekerjasama dengan Dinas Sosial di
Daerah, dengan Pemantau Pemilu, dengan Organisasi penyandang disabilitas dan
Lembaga swadaya Masyarakat yang berkaitan dengan Penyandang Disabilitas untuk
melakukan pendataan baik Jumlah Penyandang Disabilitas dan Jenis Disabilitas
yang diderita, sehingga dapat dilakukan persiapan awal untuk pengadaan Logistik
(surat suara) untuk Tuna Netra dan juga pelayanan prioritas di TPS. Sosialisasi
tentang Pemilihan dilakukan untuk memastikan para Penyandang Disabilitas
mempergunakan hak pilihnya karena kesadaran sendiri dan tahu tentang calon/Partai
Politik yang akan dipilih.
Penyelenggaraan
Pemilihan Umum bisa menjadi ajang bagi Para Penyandang Disabilitas untuk
mengaktualisasikan diri mereka di bidang politik, mereka bisa diberi kesempatan
untuk masuk Partai Politik, sebagai narasumber sosialisasi dan juga sebagai
Calon yang akan dipilih baik calon legislatif maupun calon Kepala Daerah
sepanjang memenuhi syarat, sehingga hak memilih dan hak dipilih sebagai hak
dasar mereka sebagai warga Negara diwujudkan melalui partisipasinya dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Umum.