Minggu, 15 Januari 2017

Legitimasi Pencalonan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2019

Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengharuskan Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden Tahun 2019 disatukan/digabung menimbulkan persepsi berlainan, baik di kalangan pembuat regulasi, pelaksana regulasi, pengawas regulasi serta pengguna regulasi tersebut. Dalam draft RUU Pemilu 2019 yang telah disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR menyebutkan bahwa syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden mempergunakan hasil perolehan suara pada Pemilu Legislatif 2014 dengan syarat mengajukan calon (Presiden Tresthold) adalah sebesar 20 % suara sah.
Dengan menjadikan hasil perolehan suara pada Pemilu Legislatif 2014 sebagai syarat pengajuan calon presiden/wakil presiden 2019, beberapa friksi akan muncul dan jikan hal ini disengketakan kelak, akan mengurangi legitimasi Pilpres karena sebagian friksi maupun bahan yang disengketakan dapat diterima konstitusi, diantaranya adalah:
1.   Pemilu Legislatif 2014 akan menghasilkan 2 Pemerintahan, hal ini tidak sesuai  Substansi Demokrasi yang kita anut dimana Pemilu yang dilakukan sekali untuk satu periode.
2.   Perolehan Suara  Partai Politik pada Pemilu 2019 tidak mengakomodir/mewakili aspirasi keseluruhan masyarakat karena tidak dipergunakan untuk Pemilihan Presiden/Wakil Presiden.
3.   Partai Politik yang baru berdiri sesudah Pemilu 2014 dan yang tidak mencapai batas Parlemen Tresthold pada Pemilu 2014 tidak dapat mencalonkan Presiden/Wakil Presiden.
4.   Jika perolehan suara Partai Politik yang mencalonkan  Presiden/Wakil Presiden berkurang signifikan atau tidak mencapai parlemen Tresthold pada 2019, akan sangat mempengaruhi Pemerintahan karena akan memungkinkan Pemerintah tidak punya partai Pendukung di Parlemen.
5.   Partai Politik yang baru berdiri dan yang tidak mencapai batas Parlemen Tresthold pada Pemilu sebelumnya akan kehilangan hak Demokratisnya sebagai lembaga Demokrasi di Negara yang menganut system Demokrasi Presidensial.
Demokrasi yang aspiratif tentu harus mengakomodir semua kepentingan dan hak-hak Warga Negara dan Lembaga-lembaga penguat Demokrasi itu sendiri. Salah satu cara untuk mengantisipasi 5 topik di atas adalah dengan mengubah syarat pencalonan Presiden/Wakil Presiden pada RUU Pemilu 2019, bisa saja dengan menghapus Presiden Thresthold, sebagai gantinya setiap Partai Politik berhak mengajukan Calon walau hal ini akan sangat tidak berkeadilan jika ditinjau dari status Partai baru dan Partai lama, tetapi hal ini akan mengakomodir secara keseluruhan Substansi dari Demokrasi yang kita anut. Dengan memperketat syarat pendirian suatu Partai Politik termasuk verifikasinya, akan menghasilkan Partai Politik yang tidak pragmatis dan layak untuk mengajukan Calon Presiden di Republik ini, hal ini adalah suatu kehormatan besar, sehingga tidak mudah untuk mendapatkannya, Undang-Undang tentang Partai Politik akan mengatur dan menentukan parameter untuk itu.
Penghapusan Presiden Thresthold akan memperkuat legitimasi Pemilu serentak Legistlatif dan Presiden/Wakil Presiden Republik Indonesia 2019.

Sekian…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar