Sabtu, 17 Maret 2018

Pemilu 2019, Badan Penyelenggara Ad Hoc yang Menohok


Pemilu 2019, Badan Penyelenggara Ad Hoc yang Menohok

Minggu, 18 Pebruari 2019, KPU RI menetapkan Nomor Urut dari 14 Partai Politik Peserta Pemilu 2019 serta 4 partai Politik tingkat lokal di Nanggroe Aceh Darussalam, kemudian 4 Maret 2018, KPU RI kembali menetapkan 1 Partai Politik  sebagai peserta Pemilu 2019 sesuai keputusan Bawaslu RI.
Penyelenggaraan Pemilu 2019 berbeda dengan Pemilu sebelumnya karena Pemilihan DPR, DPD, DPRD serta Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan serentak pada hari yang sama yaitu Rabu 17 April 2019, tingkat kerumitannya meningkat karena surat suara yang bertambah, disamping kenaikan jumlah Parpol peserta Pemilu, diperkirakan akan ada 1 milyar surat suara yang dipersiapkan untuk Pemilu 2019, berkaca pada penyelenggaraan Pemilu di 2014, pada beberapa daerah, proses perhitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada pemilu legislatif bisa melewati hari H penyelenggaraan, apalagi dengan bertambahnya surat suara Presiden/Wakil Presiden yang kemungkinan akan mendapat prioritas lebih dahulu untuk dihitung akan menyita waktu yang tidak sedikit, di daerah tertentu Pemilu bahkan harus diulang karena ada dugaan pelanggaran. Tahapan Penyelenggaraan Pemilu mulai dari sosialisasi, pengadaan logistik, pendistribusian sampai kepada mengembalikan logistik sebagai Dokumen/Arsip/ Bukti fisik   akan menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi Penyelenggara Pemilu dan Pemangku Kepentingan.
 UUD 1945 menyebut bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga yang tetap dan mandiri sebagai penyelenggara Pemilu, di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa KPU dibentuk sampai ke tingkat Kabupaten/Kota,  pada tingkatan kecamatan, Desa, Dusun dan TPS, petugas yang mengerjakan tugas-tugas kepemiluan adalah Badan Penyelenggara Ad Hoc yang sifatnya tidak menetap.


Badan Penyelenggara Ad Hoc
Republik Indonesia, negara yang kita banggakan, jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia (Tiongkok yang berpenduduk terbesar bukanlah negara demokrasi, dan Presidennya bisa seumur hidup) dimana Pemerintahan tertinggi ada di tangan rakyat, rakyat berhak menentukan pilihan politiknya, pilihan hidupnya dan Hak Azasinya dan semuanya itu diatur di dalam dasar negara Pancasila dan  Undang Undang Dasar 1945.
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah instrumen perwujudan supremasi kekuasaan rakyat. Perwakilan rakyat dan pemerintahan dari tingkat pusat (Presiden/Wakil Presiden) sampai tingkat terendah (Desa) dipilih melalui sarana Pemilihan Umum yaitu :
1. Pemilu untuk Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD dan  DPRD;
2. Pilkada untuk Gubernur, Bupati, Walikota dan wakil-wakilnya;
3. Pilkades untuk Kepala Desa atau sebutan lainnya.
Tingkat keberhasilan suatu penyelenggaraan Pemilihan adalah besarnya partisipasi dari pemilih Hak Pilih, walaupun tidak memilih (Golput) adalah hak demokrasi, tetapi tingkat Partisipasi Pemilih adalah salah satu indikator keberhasilan Penyelenggaraan Pemilu.
Di dalam penyelenggaraannya,dibutuhkan petugas untuk mengerjakan tugas-tugas terkait Pemilihan dimaksud mulai dari tingkat Pusat sampai dengan Daerah,  hal - hal  yang berkaitan langsung dengan Pemilih seperti Pendataan Daftar Pemilih, penyampaian undangan memilih sampai pada saat pengggunaan hak pilih di Tempat Pemungutan Suara, dilakukan oleh Badan Penyelenggara ad hoc yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) ditambah dengan Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih) dan Relawan,  merekalah yang bersentuhan langsung dengan sasaran Pemilu yaitu rakyat sebagai pemilik Hak Suara, hanya dalam beberapa  elemen saja, KPU sebagai penyelenggara yang bersifat tetap  bersentuhan langsung dengan masyarakat sebagai Pemilik Hak Pilih seperti sosialisasi, Forum Diskusi dan interaksi sosial formal dan informal di media mainstream dan media sosial.
Melihat pada porsi pekerjaannya, Badan Penyelenggara Ad Hoc lah yang menjadi ujung tombak penyelenggaraan Pemilu, tentu dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni untuk mengerjakan tugas-tugas kepemiluan, tidak hanya sekedar cakap, tetapi juga harus rajin, bersedia bekerja penuh waktu, berdedikasi dan memiliki integritas. Rekrutmen  PPK, PPS dan KPPS yang benar akan menghasilkan penyelenggara Ad Hoc Pemilu yang berkualitas, terhitung pada tanggal 7 Maret 2018, KPU Kabupaten/Kota selesai merekrut PPK dan PPS, selanjutnya akan merekrut Pantarlih dan KPPS. Dibutuhkan ketelitian dan pola rekrutmen yang mendasarkan kebutuhan untuk mendapatkan SDM yang tepat pada penyelenggaraan Pemilu kali ini, disamping persyaratan dasar yang telah ditetapkan oleh UU, perlu dilihat tingkat animo dan motivasi dari calon-calon anggota Pantarlih dan KPPS, ada diantaranya yang sedang menganggur dan membutuhkan pekerjaan sehingga menganggap sebagai profesi saja, ada yang sudah memiliki pekerjaan dan menganggap hal ini sebagai pengabdian atau aktualisasi diri, ada menjadi KPPS karena keterbatasan SDM di daerahnya. Tantangan lainnya adalah kondisi sosial, rentan gratifikasi, ketidaknetralan serta  tanggung jawab, terkadang Bimtek yang dilakukan KPU tidak cukup untuk membekali para penyelenggara Ad Hoc sehingga rekrutmen yang benar di awal akan menghasilkan para Penyelenggara Ad Hoc yang tepat dan berdedikasi untuk keberhasilan Pemilu 2019,  terkadang faktor non teknis seperti penampilan dan kesan “good looking” akan menjadi nilai tambah bagi para penyelenggara, menempatkan orang yang mudah senyum pada bagian pendataan pemilih dan front line di TPS akan meningkatkan partisipasi Pemilih yang menjadi salah satu parameter dalam menentukan keberhasilan Pemilu.




Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, pada penyelenggaraan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 9 Juli 2014, tercatat ada 6.980 Panitia tingkat Kecamatan di dalam negeri  dan 130 di luar negeri,  81.132 Desa/Kelurahan , 478.685 TPS di dalam negeri  dan 498 TPS di Luar Negeri.  Lebih dari 5 juta petugas dilibatkan dalam Penyelenggaran Pemilu.
Pada Pemilu 2019, jumlah pemilih di tiap TPS akan dikurangi dari sebelumnya maksimal 500 menjadi 300 pemilih, akan ada pertambahan TPS lebih dari 50 persen dan tentu saja akan mengakibatkan pertambahan personil penyelengara Ad Hoc.
 Tugas –tugas dari para Badan Penyelenggara Ad Hoc ini begitu krusial dan menohok sehingga diperlukan SDM yang  berintegritas, berdedikasi, Cakap dan qualified untuk mengerjakan tugas penyelenggaraan Pemilu ini, dan akan lebih baik jika memiliki nilai tambah dalam hal penampilan, ketokohan dan “good looking”.


Selasa, 13 Februari 2018

Pilkada Serentak 2018, Paling Akbar, Paling mahal (Bagian 2)

PILKADA SERENTAK 2018
PALING AKBAR, PALING MAHAL, “PERANG” AWAL  PEMILU 2019
(Bagian Kedua/Menakar  persaingan parpol di Provinsi “Raksasa”)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tiap Daerah yang menyelenggarakan Pilkada telah menetapkan Pasangan Calon yang berhak untuk ikut serta dalam tahapan Pilkada pada 12 Pebruari 2018, gambaran dari kekuatan politik setiap calon serta peta persaingan antar Partai Politik mulai kelihatan.  Koalisi antara Partai Politik pendukung Pemerintah dan “oposisi”  membuat Pilkada semakin menarik, di Sumatera Utara Partai Nasdem, Hanuran dan Golkar bergabung dengan PKS, PAN dan Gerindra melawan Pasangan Calon yang diusung PDI Perjuangan dan PPP, di Kalimantan Barat PDI Perjuangan berkoalisi dengan Demokrat sementara di Pilkada Jawa Barat menghasilkan 4 Pasangan Calon dengan koalisi yang berbeda, hal ini sebenarnya memberi hal positif dalam proses perpolitikan, sebab “persaingan” di DPP tidak selamanya diteruskan ke tingkat Daerah, Indonesia sebagai negara yang majemuk, populasi besar dan beraneka ragam Suku, agama dan kebudayaan mampu menerjemahkan Demokrasi di tengah pluralisme dan peradaban yang ketimuran.

Kekuatiran berlebihan
Pilkada 2018 yang berdekatan dengan Pemilu 2019 memunculkan kekuatiran dan kecemasan pada penyelenggaraannya, potensi konflik karena perbedaan pilihan, politik identitas yang sempit, isu agama dan sentimen kesukuan menjadi indikator untuk menentukan potensi kerawanan tiap-tiap daerah. Tetapi ada kabar baik, bangsa Indonesia sebenarnya adalah bangsa yang telah terbiasa dengan perbedaan dan demokrasi, Politik Identitas itu sendiri adalah bagian dari perkembangan Demokrasi apalagi di tengah-tengah negara yang beragama, pilihan politik seseorang yang dilandaskan pada keyakinannya adalah sesuatu hal yang lumrah dan harus diterima, tugas Negara adalah memberi pilihan dan kesempatan memilih kepada warganya. Proses Pilkada juga dapat dijadikan sebagai barometer tipikal pemilih, apakah Pemilih Rasional, Pemilih Emosional (Politik Identitas) atau Pemilih Material (memilih karena uang/pemberian materi).


Pilkada di Provinsi “Raksasa” 
Ada 17 Provinsi yang menyelenggarakan Pilkada pada Pilkada Serentak 2018, dan Provinsi-provinsi raksasa (jumlah penduduk terbanyak ) ikut di dalamnya antara lain; Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan dan lainnya, hampir 80 persen Penduduk Indonesia ada di 17 Provinsi ini dari 34 Provinsi yang ada, dari 575 Kursi DPR RI yang tersedia, sebanyak 435 Kursi berasal dari 17 Provinsi ini, tentu Partai Politik akan berusaha sebisa mungkin meraih suara di Provinsi-provinsi ini, Pilkada 2018 yang  menjadi ajang menaikkan popularitas Partai Politik melalui Pasangan Calon yang diusung, kemenangan Pasangan Calon yang diusung apalagi berasal dari Kader sendiri akan menjadi modal berharga bagi Partai Politik untuk menghadadapi Pemilu 2019, Pelaksanaan Pilkada 2018 pada tanggal 27 Juni 2018 berdekatan dengan Penetapan Calon Legislatif dan Calon Presiden serta masa kampanye Pemilu 2019 sehingga  hasil Pilkada akan kuat mempengaruhi hasil Pemilu 2019. Ada 5 Provinsi  urutan teratas Jumlah Penduduk Indonesia dan ikut dalam Pilkada serantak 2018, Provinsi ini juga penyumbang terbesar Kursi DPR RI yaitu Jawa Barat (91 kursi), Jawa Timur (87 kursi) Jawa Tengah (77 Kursi), Sumatera Utara (30 kursi) dan Sulawesi Selatan (24 kursi), artinya 309 kursi (lebih dari 50 persen suara) ada di 5 Provinsi ini, Partai Politik akan mempersiapkan diri lebih fokus di Provinsi ini, dan tentu ekonomi juga akan ikut terpengaruh akibat biaya politik yang ditumpahkan di 5 Provinsi ini.
Pada kesempatan yang sama di tahun Politik ini, Partai Politik yang berkoalisi akan berusaha memenangkan Pasangan Calonnya di penyelenggaraan Pilkada, tetapi di satu sisi Partai Politik tersebut akan bersaing lagi merebut hati pemilih untuk perolehan suara di Pemilu 2019, kemudia beberapa Partai yang berkoalisi akan bergabung lagi/ berkampanye bersama-sama untuk calon Presiden/Wakil Presiden yang diusung, Pemilih akan disajikan peristiwa menarik di saat ada Partai Politik yang bersama-sama berkampanye untuk Pasangan Calon Gubernur, kemudia bersaing untuk mengkampanyekan Caleg masing-masing dan kemudian berteman lagi untuk mengkampanyekan Calon Presiden/Wakil Presiden mereka, dan ada juga Partai Politik yang sudah berseberangan dari Pilkada sampai ke Pilpres, inilah sisi yang sangat menarik dari wajah Demokrasi Indonesia saat ini, yang jauh lebih layak untuk dicermati dibanding dengan kekuatiran yang ditimbulkan oleh Politik Identitas ataupun sentimen SARA.
Daripada mencemaskan dan menambahi kekuatiran akan potensi konflik akibat Pilkada serta dampak buruk ekonominya, lebih baik ikut serta mengkampanyekan Pilkada dan Pemilu Damai, triliunan rupiah APBD dan APBN dikeluarkan oleh negara untuk pembiayaan Pilkada dan Pemilu, diharapkan hasil proses Demokrasi ini akan menaikkan  Derajat Bangsa, menghasilkan Pemimpin  amanah yang orientasi kerjanya semata-mata untuk kemakmuran dan kesejahteraan warga negara, Penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu dan Pemilik hak suara akan bersama-sama melaksanakan fungsinya, Demokrasi untuk kemajuan bangsa.

 Lanjutan dari Bagian satu; 
http://pabercolombus.blogspot.co.id/2017/03/pilkada-serentak-2018-paling-akbar.html


Senin, 22 Januari 2018

Proporsi Legislatif di Daerah Pemilihan



Pembagian alat pertanian yang tidak merata telah menimbulkan kekecewaan bagi beberapa kelompok tani di sebuah Kecamatan, jumlah yang terbatas membuat Dinas Pertanian setempat tidak dapat memberikan alat pertanian tersebut kepada seluruh Kelompok yang ada, lobby para anggota DPRD  yang membagikan Alat tersebut di saat Reses mengakibatkan daerah yang dikunjungi DPRD saja yang mendapatkan alat pertanian tersebut. Ada satu Daerah Pemilihan yang terdiri dari 5 Kecamatan  dengan jumlah kursi sebanyak 12,  1 Kecamatan diantaranya  tidak memiliki anggota DPRD, dari 12 caleg terpilih, semua berasal dari 4 Kecamatan lainnya dan saat Reses , mereka mengunjungi konstituen mereka berdasarkan domisili mereka, dan bisa juga berdasarkan raihan suara signifikan. Kecamatan yang tidak punya Angggota legislatif terpilih tersebut seperti tidak memiliki wakil di DPRD, sistem proporsional yang memungkinkan jumlah kursi pada satu Daerah Pemilihan di 5 kecamatan bisa sampai 12 kursi membuat caleg terpilih juga kesulitan mengakomodir seluruh konstituennya.  Jika saja daerah pemilihan tersebut dipecah menjadi 3, maka aspirasi warga makin terakomodir karena caleg terpilih hanya mewakili 2 kecamatan saja dapat membagi waktu Reses nya secara optimal selama periode jabatannya.

Contoh kedua pada reses anggota DPR RI di suatu provinsi yang daerah pemilihannya terdiri dari 19 Kabupaten/Kota dengan alokasi 10 kursi, artinya hanya ada 10 orang anggota DPR RI yang akan mengadakan reses, bakal ada beberapa Daerah yang tidak dikunjungi.

Di dalam Undang-undang Pemilihan Umum , disebut jumlah kursi di tiap Daerah Pemilihan adalah 3 -12 kursi untuk DPRD dan 3 -10 kursi untuk DPR RI , sementara Parlemen Thresthold hanya berlaku di DPR RI saja, seharusnya berlaku linier untuk menunjukkan keadilan dan kepatutan dari sebuah Regulasi. Jumlah Kursi di Daerah Pemilihan  DPR RI dibuat untuk meminimalkan suara yang akan terbuang, tetapi untuk wilayah yang luas dengan penduduk sedikit, hal ini akan mengakibatkan cost politik yang tinggi akibat mahalnya biaya operasional dan juga untuk caleg terpilih nantinya tidak dapat mengakomodir semua dapilnya, contohnya dapil Sumut 2 yang terdiri dari 19 kabupaten/Kota, artinya seorang anggota DPR RI harus Reses ke 4 Kabupaten setiap tahunnya agar   dapat mengakomodir semua konstituennya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu yang memiliki tugas dalam menata daerah pemilihan dengan memperhatikan pertimbangan dari para pemangku kepentingan sebaiknya memperhatikan substansi utama dari fungsi para legislator yaitu sebagai perwakilan dari konstituen yang memilihnya, karena Undang-undang hanya menyebutkan batasan kursi di setiap Daerah Pemilihan, maka KPU dapat menyederhanakannya untuk efisiensi cost politik di saat Pemilu, dan juga untuk memudahkan  serapan aspirasi  konstituen di saat sudah terpilih. Anggota DPR/DPRD memiliki tugas untuk membuat UU/ Peraturan Daerah bersama-sama dengan Pemerintah, tetapi juga memiliki kewajiban sebagai penyambung aspirasi dari Daerah Pemilihannya, maka Proporsional itu sebaiknya tidak hanya berlaku untuk penentuan kursi, tetapi  harus proporsional juga dari segi Kapasitas dan Kemampuan para Legislator, karena di dalam penyusunan UU, beberapa hal dapat berubah setelah mendapatkan aspirasi dari daerah, Fungsi pengawasan juga dapat optimal di saat DPR meninjau langsung produk pembangunan di saat Reses ke Daerah, begitu juga dengan Politik Anggaran yang dilakukan DPR, daerah yang tidak memiliki “wakil” akan terlupakan atau terabaikan.
Untuk lebih memaksimalkan fungsi DPR/DPRD sebagai wakil rakyat, disamping menyederhanakan daerah Pemilihan, perlu difasilitasi dengan tambahan bantuan SDM/tenaga ahli dalam menjalankan fungsinya sebagai perwakilan rakyat baik di dalam gedung DPRD maupun di saat mendatangi para konstituennya/reses.