MENEMUKAN SISTEM PEMILIHAN
IDEAL PADA PEMILU DPR DAN DPRD 2019
Empat
penyelenggaraan Pemilu telah dilaksanakan di Negara ini sejak dimulainya era
Reformasi pada tahun 1998, regulasi terus menerus diperbaharui untuk mendekati
kesempurnaan Demokrasi yang sesuia dengan tuntutan zaman dan tuntutan aspirasi.
Sistem Pemilu untuk DPR dan DPRD berubah seiring dengan pembaharuan
Undang-undang yang mendasari maupun akibat dari Judicial Review yang dilakukan.
Pemilu
DPR dan DPRD tahun 1999 diikuti 48 partai Politik, pemilih hanya mencoblos
tanda gambar partai, Partai Politik kemudian menentukan anggota DPR dan DPRD
yang akan dilantik, sistem yang digunakan adalah sistem tertutup.
Pemilu
DPR dan DPRD tahun 2004 diikuti 24 Partai Politik, Pemilih tidak hanya disuguhi
tanda gambar Parpol, tetapi juga disertai nama-nama calon Legislatif
berdasarkan Daerah Pemilihannya, system yang digunakan adalah berdasarkan nomor
urut pada daftar calon tetap jika tidak ada yang memenuhi kuota (Bilangan
Pemilih Pembagi), pada Pemilu ini , calon yang terpilih hampir semuanya diisi
oleh para Calon Nomor Urut 1.
Pemilu
DPR dan DPRD 2009 diikuti oleh 38 Partai Politik ditambah 6 Partai Lokal di
Aceh (NAD), setelah selesai pengusulan Daftar Calon Tetap di KPU, Mahkamah
Konstitusi mengabulkan Permohonan Judicial Review yang mengubah system Nomor
urut menjadi Suara Terbanyak, artinya
calon yang dinyatakan menang adalah mereka yang memiliki suara terbanyak di
internal Partainya jika tidak ada yang memenuhi Kuota (Bilangan Pemilih
Pembagi), banyak Calon terlanjur ‘memperjuangkan” nomor urut 1 dengan daya yang
lumayan besar, dimentahkan begitu saja oleh keputusan MK, Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) adalah salah satu contoh lolosnya nomor urut paling buncit di
Partainya, begitu juga dengan banyak Caleg di DPR RI dan DPRD.
Pemilu
DPR dan DPRD 2014 diikuti oleh 12 Partai Politik ditambah 4 Partai Lokal di
Aceh. Keharusan menempatkan 30 % kuota perempuan disertai dengan penempatan
pada Nomor urut adalah hal baru dalam Pemilu ini, Nomor urut tetap diincar para
Caleg karena hasil survey menyebut, pemilih lebih tertarik untuk memilih Caleg
di Nomor urut 1 s.d 3 walaupun pada akhirnya Calon terpilih banyak di bawah
Nomor urut 3. Sistem proporsional terbuka ini berdampak kurang baik bagi para
calon, sesama caleg dalam satu partai saling “sikut” karena persaingan bukan
lagi antar Partai Politik tetapi sesama Caleg dalam satu partai, istilah
kerennya “jeruk makan jeruk”. Banyak Pemilih tak lagi rasional karena Ideologi
politik diperhadapkan dengan Calon yang datang karena hubungan Keluarga,
persahabatan, relasi organisasi, juga Faktor
Agama dan Suku juga “dijual” untuk mendapatkan suara dan yang paling menentukan
tetapi amat sulit untuk ditentukan adalah “money politic”, biaya politik
menjadi sangat tinggi akibat sistem yang sangat terbuka ini, Pihak kekuasaan di
Daerah paling terasa pengaruhnya dalam meraih pemilih, di Sumatera Utara lebih
dari 90 % Partai Pemenang di DPRD adalah Partai yang diketuai atau di dalamnya
Kepala Daerah adalah Kader.
Pemilu
DPR DPRD 2019 akan dimulai tahapannya di tahun 2017 ini , RUU yang sedang dibahas
di DPR RI akan jadi dasar pelaksanannya, apakah sistem yang paling ideal akan
ditemukan, beberapa substansi pokok adalah memperkuat Partai Politik tetapi
tetap mengakomodir aspirasi rakyat, mengurangi Cost Politik yang tinggi tetapi
tetap memberi peluang Calon untuk memperkenalkan diri, menaambah Daerah
Pemilihan bisa jadi solusi untuk mengurangi biaya politik.
Pemilih
dan Warga yang berniat jadi Calon Legislatif menunggu RUU ini disahkan, kiranya
Pemilu 2019 lebih baik dari Pemilu sebelumnya, belajar dari
kekurangan-kekurangan.
Doloksanggul,
5 Pebruari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar