Minggu, 05 Februari 2017

MENEMUKAN SISTEM PEMILIHAN IDEAL PADA PEMILU DPR DAN DPRD 2019

MENEMUKAN SISTEM PEMILIHAN IDEAL PADA PEMILU DPR DAN DPRD  2019
Empat penyelenggaraan Pemilu telah dilaksanakan di Negara ini sejak dimulainya era Reformasi pada tahun 1998, regulasi terus menerus diperbaharui untuk mendekati kesempurnaan Demokrasi yang sesuia dengan tuntutan zaman dan tuntutan aspirasi. Sistem Pemilu untuk DPR dan DPRD berubah seiring dengan pembaharuan Undang-undang yang mendasari maupun akibat dari Judicial Review yang dilakukan.

Pemilu DPR dan DPRD tahun 1999 diikuti 48 partai Politik, pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai, Partai Politik kemudian menentukan anggota DPR dan DPRD yang akan dilantik, sistem yang digunakan adalah sistem tertutup.

Pemilu DPR dan DPRD tahun 2004 diikuti 24 Partai Politik, Pemilih tidak hanya disuguhi tanda gambar Parpol, tetapi juga disertai nama-nama calon Legislatif berdasarkan Daerah Pemilihannya, system yang digunakan adalah berdasarkan nomor urut pada daftar calon tetap jika tidak ada yang memenuhi kuota (Bilangan Pemilih Pembagi), pada Pemilu ini , calon yang terpilih hampir semuanya diisi oleh para Calon Nomor Urut 1.

Pemilu DPR dan DPRD 2009 diikuti oleh 38 Partai Politik ditambah 6 Partai Lokal di Aceh (NAD), setelah selesai pengusulan Daftar Calon Tetap di KPU, Mahkamah Konstitusi mengabulkan Permohonan Judicial Review yang mengubah system Nomor urut  menjadi Suara Terbanyak, artinya calon yang dinyatakan menang adalah mereka yang memiliki suara terbanyak di internal Partainya jika tidak ada yang memenuhi Kuota (Bilangan Pemilih Pembagi), banyak Calon terlanjur ‘memperjuangkan” nomor urut 1 dengan daya yang lumayan besar, dimentahkan begitu saja oleh keputusan MK, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah salah satu contoh lolosnya nomor urut paling buncit di Partainya, begitu juga dengan banyak Caleg di DPR RI dan DPRD.

Pemilu DPR dan DPRD 2014 diikuti oleh 12 Partai Politik ditambah 4 Partai Lokal di Aceh. Keharusan menempatkan 30 % kuota perempuan disertai dengan penempatan pada Nomor urut adalah hal baru dalam Pemilu ini, Nomor urut tetap diincar para Caleg karena hasil survey menyebut, pemilih lebih tertarik untuk memilih Caleg di Nomor urut 1 s.d 3 walaupun pada akhirnya Calon terpilih banyak di bawah Nomor urut 3. Sistem proporsional terbuka ini berdampak kurang baik bagi para calon, sesama caleg dalam satu partai saling “sikut” karena persaingan bukan lagi antar Partai Politik tetapi sesama Caleg dalam satu partai, istilah kerennya “jeruk makan jeruk”. Banyak Pemilih tak lagi rasional karena Ideologi politik diperhadapkan dengan Calon yang datang karena hubungan Keluarga, persahabatan, relasi organisasi, juga  Faktor Agama dan Suku juga “dijual” untuk mendapatkan suara dan yang paling menentukan tetapi amat sulit untuk ditentukan adalah “money politic”, biaya politik menjadi sangat tinggi akibat sistem yang sangat terbuka ini, Pihak kekuasaan di Daerah paling terasa pengaruhnya dalam meraih pemilih, di Sumatera Utara lebih dari 90 % Partai Pemenang di DPRD adalah Partai yang diketuai atau di dalamnya Kepala Daerah adalah Kader.

Pemilu DPR DPRD 2019 akan dimulai tahapannya di tahun 2017 ini , RUU yang sedang dibahas di DPR RI akan jadi dasar pelaksanannya, apakah sistem yang paling ideal akan ditemukan, beberapa substansi pokok adalah memperkuat Partai Politik tetapi tetap mengakomodir aspirasi rakyat, mengurangi Cost Politik yang tinggi tetapi tetap memberi peluang Calon untuk memperkenalkan diri, menaambah Daerah Pemilihan bisa jadi solusi untuk mengurangi biaya politik.
Pemilih dan Warga yang berniat jadi Calon Legislatif menunggu RUU ini disahkan, kiranya Pemilu 2019 lebih baik dari Pemilu sebelumnya, belajar dari kekurangan-kekurangan.


Doloksanggul, 5 Pebruari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar